Tulisan ini adalah tinjauan artikel yang aku tulis untuk tugas mata kuliah Filsafat Ruang trimester yang lalu. Tapi bulan lalu dosen mata kuliah itu menghubungiku supaya aku mempublikasikan tugas ku ini di Buletin Magistra, yaitu buletin milik Program Pasca Sarjana Unika Soegijapranata Semarang. Jadi kuperbaiki tugas itu disana-sini supaya lebih pantas dipublikasikan, bukan hanya sekedar tugas. So, this is it! Tinjauan artikel dari artikel berjudul
“Food Mobilities: Traveling, Dwelling and Eating Cultures”, yang ditulis oleh Sarah Gibson.
Mobilitas Makanan
Masageng Satrio Subiakto
Dalam artikel “Food Mobilities: Traveling, Dwelling and Eating Cultures”, Sarah Gibson menganalisa hubungan antara ruang, kultur, dan mobilitas makanan: food mobilities. Sebagai benda kultural, makanan diproduksi dan dikonsumsi oleh dan melalui manusia, hewan dan tumbuhan yang bergerak secara geografis, melintasi infrastruktur global dalam bentuk produksi, transportasi dan persiapan makanan itu sendiri. Mobilitas makanan melekat pada kultur kuliner yang berupa resep masakan, teknik memasak, dan gaya memasak dan gaya memakan.
Makanan merupakan produk yang sangat mobile dan juga mampu menggerakkan konsumen bukan secara fisik dan imajinatif. Melalui analisa mobilitas makanan, Sarah Gibson menunjukkan pengalaman “bepergian-dalam-diam” dan “diam-dalam-bepergian” (traveling-in-dwelling dan dwelling-in-traveling).
Sarah Gibson menggunakan tulisan Cook dan Crang (1996) untuk menunjukkan metafora spatial tentang “displacement” – pemindahan, yang merupakan latar belakang interkoneksi antara tempat dan mobilitas, tinggal dan bepergian. Cook dan Crang melihat makanan sebagai “tidak hanya artefak kultur yang diam di tempat, tetapi juga mengalami pemindahan, mendiami banyak ruang dan waktu, jauh dari batas-batas yang rapi, dan saling mempengaruhi satu sama lain.” Contohnya adalah makanan-makanan tradisional seperti Gudeg yang mungkin berumur ratusan tahun. Resep Gudeg ini diajarkan secara turun temurun, disebarkan ke seluruh Indonesia, dan citarasanya disesuaikan dengan daerah penyebarnya. Itulah mengapa ada Gudeg Jogja dan Gudeg Solo yang berbeda cita rasanya.
“not only placed cultural artifacts, but also displaced, inhabiting many times and spaces which, far from being neatly bounded,
bleed into and indeed mutually constitute each other.(hal. 14)”
Untuk menggambarkan mobilitas makanan, Sarah Gibson mengambil anekdot dari Raymonds Wiliams tentang pasangan Inggris yang tinggal di Amerika. Mereka makan malam dengan menu “daging domba New Zealand, wortel California, madu Meksiko, keju Perancis dan anggur Spanyol”. Meskipun makanan yang disebutkan disini bisa diidentifikasikan jenisnya (daging domba, wortel, madu, keju dan anggur), namun juga ditempatkan pada kultur nasional dan geografis (New Zealand, California, Meksiko, Perancis dan Spanyol). Kemampuan makanan untuk keliling dunia hingga sampai ke piring dan mulut pasangan Inggris yang memasak dan makan di Amerika itu. Begitulah materalitas mobilitas makanan tersebut.
Sarah Gibson mengatakan bahwa makanan dan apa saja yang dihitung sebagai makanan, merupakan penanda kepemilikan, identitas kultural dan tanah air. Makanan sebagai sebuah kultur adalah lokasi tinggal. Bahan makanan, gaya memasak, dan cara makan merupakan cara simbolis untuk menarik batas antara “kita” dan “mereka”. Makanan dan kultur kuliner merupakan cara yang kuat untuk menegaskan batas-batas antara kita dan mereka (Lupton, 1996). Namun, fungsi makanan secara metamorfis juga merupakan suatu jembatan yang melintasi batas-batas komunitas kultur (van den Berghe, 1984). Misal, orang Jepang tidak hanya makan makanan Jepang, mereka juga makan steak dan roti (Amerika/Eropa), begitu juga orang Amerika makan masakan Jepang seperti sushi dan sashimi. Makanan-makanan khas tersebut menjembatani komunitas-komunitas negara tersebut.
Mobilitas makanan kemudian tidak lagi terkonsentrasi pada mobilitas tubuh turis atau migran, namun juga mobilitas secara imajinatif karena para turis kuliner bisa menjelajahi eksotisme tanpa meninggalkan lingkungan rumah mereka. Sekarang kuliner asing bisa dinikmati melalui restoran lokal atau memesan layanan antar, bisa juga dengan membeli bahan-bahan di supermarket dan memasaknya di rumah sendiri. Restoran etnik merupakan ruang mobile imajinatif dimana konsumer secara harafiah mencerna “the otherness” kultur asing.
Di kota Semarang ada satu restoran Jepang yang menjadi favorit saya jika saya sedang ingin makan makanan Jepang. Untuk kemudahan, saya menyebut restoran tersebut sebagai “Restoran H”. Dari sekian banyak restoran atau tempat makan makanan Jepang yang ada di Semarang, saya memilih Restoran H karena cita rasa masakannya yang menurut saya paling otentik. Ke-otentik-an cita rasa tersebut tercipta dari pengalaman sang pemilik yang pernah bekerja sebagai koki di Jepang, juga pemilihan bahan-bahannya yang beberapa masih diimpor langsung dari Jepang. Bukan hanya soal cita rasa yang membuat saya memilih Restoran H, suasana yang diciptakan di restoran tersebut juga otentik Jepang. Interior ruangan di desain seperti rumah makan di Jepang yang sering saya lihat di majalah atau televisi. Para pelayan berpakaian seperti pelayan restoran di Jepang. Diputarkan lagu-lagu berbahasa Jepang dan ditayangkan juga statiun televisi Jepang di televisi yang ada. Semuanya terasa begitu “Jepang” sehingga ketika saya makan di Restoran H, di Semarang, saya bisa merasakan bagaimana makan di restoran di Jepang. Secara imajinatif saya sudah bepergian ke Jepang, melalui makanan Jepang yang saya makan dan suasana di Restoran H. Saya tidak perlu lagi pergi ke Jepang untuk bisa mendapatkan makanan Jepang beserta dengan suasananya.
Melalui contoh seperti inilah Sarah Gibson mencoba menjelaskan pengalaman “bepergian-dalam-diam” (traveling-in-dwelling). Ketika saya makan makanan Jepang di Restoran H, saya melakukan “bepergian-dalam-diam”. Secara fisik saya diam di Restoran Jepang di Semarang, namun melalui makanan dan suasana di restoran tersebut, saya secara imajinatif sudah bepergian ke Jepang. Selain “bepergian-dalam-diam”, Sarah Gibson juga menjelaskan pengalaman yang lain yaitu “diam-dalam-bepergian”. Sarah Gibson menggunakan pengalaman makan di kereta api untuk menjelaskan tentang hal “diam-dalam-bepergian” ini.
Kereta api antar kota, daerah maupun antar negara, lazimnya memiliki kereta makan di dalam rangkaiannya. Namun, seperti yang kita ketahui bersama, harga makanan yang dijual di kereta lebih mahal dari luar kereta makan. Maka kebanyakan penumpang membeli makanan sebelum mereka naik kereta untuk kemudian di makan selama perjalanan mereka. Makanan yang mereka beli bisa jadi adalah makanan khas tempat asal mereka, yang mereka bawa bepergian untuk dimakan. Saya coba jelaskan lebih sederhana begini, misalkan saya bepergian ke Bandung dari Semarang. Untuk menghemat uang saku, maka saya membawa makanan yang saya beli di luar kereta api. Katakanlah saya membeli Lumpia yang merupakan makanan khas kota Semarang. Kemudian saya memakan lumpia tersebut ketika dalam perjalanan ke Bandung. Ketika saya makan lumpia tersebut, saya merasakan dan mendapatkan cita rasa kota Semarang. Saya bepergian ke Bandung, namun secara imajinatif saya diam di Kota Semarang. Untuk contoh lain saya akan menggunakan pengalaman seorang dosen ketika beliau menempuh pendidikan di Belanda. Suatu saat Beliau kangen dengan makanan Indonesia. Maka beliau pergi ke rumah adiknya yang kebetulan tinggal di Belanda juga. Sesampainya di sana, adiknya sudah menyiapkan berbagai hidangan khas Indonesia yang tidak bisa ditemui di Belanda. Ditambah dengan desain interior rumah adik dosen saya itu yang dirancang sepeti layaknya rumah di Indonesia. Ada ukir-ukiran Jepara dan topeng Leak Bali. Ketika makan-makanan tersebut, dosen saya membayangkan bahwa dia sedang berada di rumahnya, di Indonesia. Dosen saya sudah merasakan pengalaman “diam-dalam-bepergian”. Secara fisik beliau berada di Belanda, namun secara imajinatif melalui makanan dan suasana rumah adiknya, beliau berada diam di Indonesia.
Melalui uraian di atas Sarah Gibson membuktikan bahwa ruang merupakan sesuatu yang cair. Ruang bukan lagi dipahami sebagai bentuk fisik, namun juga sebagai sesuatu yang imajinatif. Ruang bukan lagi sesuatu yang kaku, namun merupakan sesuatu yang cair (fluid). Cara Sarah Gibson memilih kultur makanan dan menganalisanya untuk menjelaskan tentang mobilitas ruangan, menurut saya, merupakan sesuatu yang brilian. Makanan erat dengan kehidupan kita sehari-hari, sehingga sangat mudah menggunakannya sebagai contoh. Filsafat tentang mobilitas ruangan yang semula begitu sulit dipahami, melalui makanan menjadi sesuatu yang dengan cukup mudah mampu kita pahami secara nyata.
Referensi:
Gibson, Sarah, 2007), “Food Mobilities: Traveling, Dwelling, and Eating Cultures”, Space and Culture, vol. 10 no. 1, February, hal. 4-21. *bisa didapat di sini
Acknowledgement:
Gloria Putri & Rouli Manalu, atas masukan dan koreksiannya terhadap artikel ini.