Laman

Tuesday, March 13, 2012

Mobil Mewah Buang Sampah

Pagi ini masuk ke ruangan Music Library, iseng ku buka filling cabinet dan melihat-lihat buku lagu untuk Paduan Suara Anak. Sebenarnya semalam di rapat pemimpin PS Anak minta dicarikan lagu-lagu untuk PSnya. Makanya ku buka-buka buku lagu itu pagi ini.
Isinya pasti lagu bertema anak-anak yang cinta Tuhan dan komitmen hidup ala anak-anak untuk mengikut Yesus. Liriknya juga khas anak-anak banget, meskipun yang bikin lagu-lagunya saya tahu pasti bukan anak-anak lagi. Tapi hampir sampai halaman belakang, ada 1 lagu yang sangat menarik buatku. Judulnya seperti judul tulisan ini: "Mobil Mewah Buang Sampah", lagu ini diciptakan oleh A. Soetanta S. J pada tahun 2005. Lirik lagunya begini:

Ada mobil mewah lari di depanku, mobilku mengikutinya.
Kagum ku melihatnya. Tiba-tiba saja ia buka kaca.
Mobil mewah buang sampah mengenai mobilku.
Ku kecewa padamu, hilang kekagumanku.
Larilah hai mobil mewah jauh-jauh dari mobilku.
Jangan lagu buang sampah mengotori mobilku.
mobil mewah buang sampah sembarangan.

Lagu dengan lirik yang sederhana, tapi pesannya sangat kuat. Menarik buatku karena:
1. Pesan ekologisnya, yaitu tentang membuang sampah.
2. Lagu ini berhasil memotret dengan sangat baik fenomena sehari-hari. Sudah sangat sering kita melihat orang-orang (bukan cuma yg naik mobil mewah) membuang sampah mereka ketika di jalan.
3. Penciptaan lagu yang mengambil sudut pandang seorang anak yang lugu, tapi melek moral, bahwa buang sampah sembarangan itu buruk.

Tapi, rasanya agak sayang ketika lagu-lagu ini masuk ke dalam buku lagu nyanyian Paduan Suara Anak Kristen, karena lagu-lagu ini sepertinya susah mendapat tempat di ibadah mingguan. Yang memungkinkan adalah ketika gereja membuat event khusus tentang lingkungan. Tapi kapan ya? Sepertinya lebih penting membahas hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama daripada dengan lingkungan. Yah, tidak sepenting itu sampai bisa mengadakan "Bulan Lingkungan"...

Tapi lagi, dimana lagi lagu seperti ini akan dipublikasikan. Paduan Suara anak tidak mendapat tempat di dunia hiburan. Yang dapet tempat adalah "paduan suara" remaja tanggung dengan modal tampang dan joget tapi kualitas vokal dan lagu nol.. hahahaha... Ironis... Yah, seperti perkataan teman remajaku: "Mereka bukan untuk di dengar, mas.. Tapi cuma untuk dilihat"... hahahahhaa... Betul... Betul.. Betul...

Gambar dari sini








Tuesday, December 27, 2011

Don'na Tokidemo ~ Anytime & Anywhere

"Why are you crushed down, O my soul? and why are you troubled in me? put your hope in God; for I will again give him praise who is my help and my God." ~ Psalm 42:5

Pada tahun 1959 di Jepang lahir seorang anak perempuan yang kemudian diberi nama Junko Takahashi. Namun, Junko hanya hidup selama 7 tahun. Pada tahun 1967 Junko meninggal dunia karena menderita sakit osteosarcoma (tumor tulang). Selama tahun-tahun menjelang kematiannya, Junko menuliskan dua bait lirik yang menjadi refleksi imannya. Liriknya begini:

Don'na tokidemo, don'na tokidemo (Kapan pun penderitaan datang)
kurushimini makezu, kujiketewa naranai. (aku tidak akan patah semangat)
Iesu samano, Iesu samano ai o shinjite. (aku percaya pada Yesus)

Don'na tekodemi, don'na tokidemo (Kapan pun penderitaan datang)
shiawaseo nozomi, kujiketewa naranai. (Kami berharap kebahagiaan, bukan berkecil hati)
Iesu samano, Iesu samano ai o shinjite. (aku percaya pada Yesus)

Inilah ekspresi iman seorang gadis kecil ketika terbaring dalam kesakitannya di ranjang rumah sakit. Inilah kesaksian yang diberikan seorang anak kecil yang hidup di negara dimana hanya 2% dari seluruh populasi adalah orang Kristen!

Lirik ini kemudian ditemukan oleh seorang Associate Professor bernama Shin'ichi Takanami yang lalu mengubah lirik ini menjadi sebuah lagu berjudul Don'na Tokidemo. Pada tahun 2001 buku Sing! A New Creation memasukkan lagu ini dan menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris yang kemudian diberi judul Anytime and Anywhere.

Anytime and anywhere, know that Jesus's love is there .
When in grief and loss, when in pain, God will strengthen and sustain.
Put your hope in God, trust His holy Word everytime and everywhere.

Anytime and anywhere, know that Jesus's love is there.
Don't despair for God is kind. Look for joy and you will find.
Put away your fear, God is very near every time and every where.

Sayangnya saya tidak bisa menemukan mp3 lagu ini dimanapun, tetapi jika anda mau mempelajari lagu ini, saya dengan senang hati bersedia mengajarkannya.
Mari kita memasuki tahun yang baru dengan suatu iman dan pengharapan bahwa Tuhan tidak pernah jauh dan meninggalkan kita, baik di saat susah maupun senang. Mari melangkah menuju tahun 2012 tanpa keraguan dan ketakutan. Tuhan ada dekat dengan kita. Tuhan ada dimana pun kita berada. Kapanpun kita membutuhkan pertolongan dan bimbinganNya.

Put away your fear... God is very near... Every time and every where...

Happy New Year!! God Bless!!


Gambar dari sini
#berdoa untuk ayah pacar seorang teman dekat sekaligus ayah tunangan sepupu yang sedang kritis karena komplikasi gagal ginjal & riwayat stroke. Tuhan memberi yang terbaik untuk keluarga ini. Put away your fear. Trust His holy Words....



Monday, December 26, 2011

Filosofi Anus Naga

Tahun baru masih beberapa hari lagi, namun suasana persiapan dan kemeriahannya sudah terasa sejak minggu ke 2 bulan Desember ini. Di tepi jalan sudah mulai banyak billboard tentang acara-acara tahun baru mulai dari di Cafe-cafe sampai di hotel. Mulai dari acara Old & New biasa sampai acara pool party bertemakan "Surf into 2012", yang gak jelas... Begitu juga persiapan alat-alat pendukung kemeriahan acara tahun baru, yaitu Terompet Tahun Baru. Para pedagang terompet sudah mulai membuka lapaknya di tepian jalan protokol kota Semarang. Bahkan timeline Twitter tadi pagi memuat berita dari Kompas tentang banjir baru yang melanda kota Jakarta, yaitu banjir pedagang terompet. Terompet tahun baru saat ini memiliki bentuk yang bermacam-macam. Mulai dari yang berbentuk seperti terompet (ya iyalah...), vuvuzela, terompet berlekuk-lekuk, sampai terompet berbentuk gak jelas. Terompet tahun baru yang paling gak jelas yang pernah ku lihat, secara tidak sengaja ku temui minggu lalu. Malam itu aku & Irenne sedang berkendara di daerah Simpang Lima, secara tidak sengaja karena aku salah belok, jadi dengan terpaksa harus memutar lewat Simpang Lima. Di satu belokan, aku melihat sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan 1 anak laki-laki berumur 6-8 tahun sedang naik motor. Si anak duduk di tengah sambil meniup-niup terompet tahun baru. Bentuknya adalah bentuk naga. Jadi itu adalah terompet tahun baru berbentuk naga. Tampaknya tahun depan adalah Tahun Naga, maka yang banyak dijual tahun ini adalah terompet naga. Bentuknya seperti di bawah ini:

Gambar dari sini


 Yang saat itu menggelitikku adalah letak lubang tempat kita meniup terompet itu.. Di gambar ini lubangnya terletak di ujung ekor naga itu, tidak ada masalah... Tapi di terompet yang ditiup anak itu, lubangnya terletak di lekukan naga sebelum bagian ekor. Tempat yang akan membuat kita (paling gak aku & Irenne dan teman-teman yang ku ceritain ) langsung berasumsi bahwa itu adalah tempat anus naga itu...
Tidak kah itu cukup aneh bin ajaib?? Siapa sih yang mendesain terompet itu? Bisa-bisanya menempatkan lubang tiupan itu di situ??

Ketika hal ini ku ceritakan ke beberapa teman (ko Resha, Mona & Sonia), mereka juga menangkap keheranan yang sama. Dan ternyata bukan cuma anak itu yang jadi korban terompet anus naga itu, ada anak lain yang merupakan tetangga Mona, meniup terompet dengan model yang sama. Jadilah itu cerita terungkap dari ingatan dan menjadi bahan pembicaraan seru... Sampai akhirnya Irenne mengatakan bahwa pemikiran kritis tentang terompet anus naga ini hanya muncul pada pikiran para filsuf. Dan Sonia lah yang memberikan nama pada pemikiran ini yaitu Filosofi Anus Naga...

Pesan moral cerita ini: Pandanglah segala sesuatu dengan lebih kritis. Termasuk ketika akan membelikan terompet untuk anak atau adik anda. Bayangkan jika ada filsuf-filsuf atau kritisi-kritisi lain di luar sana yang melihat anak anda meniup terompet anus naga. Entah apa yang akan ada dalam benak mereka...


MERRY CHRISTMAS & HAPPY NEW YEAR ALL!!
GOD BLESS!!!


Monday, August 1, 2011

"Berenang Gak Bikin Kurus"

Aku n Irenne mendaftar member suatu klub kesehatan di suatu hotel di Semarang. Kami berniat untuk memperbanyak jadwal berenang kami. Kalau kami berenang di kolam renang biasa, maka kami harus membayar Rp. 25000 tiap berenang, sedangkan menjadi member itu cukup menguntungkan karena kami membayar Rp. 800.000 untuk 6 bulan membership, dan kami bebas berenang sebanyak apapun. Jadi lebih murah daripada kolam renang biasa (asal sering berenang).. hehehehe....

Kemudian tiba minggu pertama kami berenang di tempat tersebut... Kami berenang mulai jam 6 pagi sampai jam 7 pagi karena jam 8 nya kami harus masuk kerja... Dan kalau masih pagi kolam renangnya masih sepi... Biasanya hanya ada kami berdua dan 1 orang pria paruh baya, mungkin umur 60 tahunan.. Tapi berenangnya keren, setelah masuk kolam renang, dia langsung berenang tanpa henti dengan gaya bebas selama 1 jam!!! Sangar!!!
Setelah beberapa hari kami berenang bersama disitu, tanpa sengaja aku dan si Om menikmati sauna bersama.. Kami kenalan n ngobrol2... Ternyata dia pernah punya riwayat sakit punggung parah (HNP), jadi berenang adalah terapi pemulihannya... Dia memang dari muda sudah gemar berolahraga, mulai dari lari, fitness, berenang, tenis, dll.... Nah, sekarang dia hanya diperbolehkan untuk berenang dan sedikit lari saja... Maka dia rutin berenang tiap hari...
Kemudian di tengah percakapan kami, tiba-tiba dia bilang: "Berenang gak bikin kurus kok, mas..." Entah apa maksudnya dia bilang begitu, tapi yg pasti lumayan menusuk hati.. hahahaha....
Sial!!! Padahal tujuanku rutin berenang salah satunya adalah untuk menguruskan badan... Damn!!
Sejak saat itu motivasiku berenang bukan lagi untuk menguruskan badan, tapi cuma untuk refreshing biar gak kepanasan.. hahahhaa....
Sekarang aku fitness!!!! Dan aku baru beli sepeda!!! Hahahahahaa....
Wish me luck!!!! No.. Wish me endurance!!!
hahahaha...
God Bless U, guys...

Friday, July 8, 2011

Food Mobilities

Tulisan ini adalah tinjauan artikel yang aku tulis untuk tugas mata kuliah Filsafat Ruang trimester yang lalu. Tapi bulan lalu dosen mata kuliah itu menghubungiku supaya aku mempublikasikan tugas ku ini di Buletin Magistra, yaitu buletin milik Program Pasca Sarjana Unika Soegijapranata Semarang. Jadi kuperbaiki tugas itu disana-sini supaya lebih pantas dipublikasikan, bukan hanya sekedar tugas. So, this is it! Tinjauan artikel dari artikel berjudul Food Mobilities: Traveling, Dwelling and Eating Cultures”, yang ditulis oleh Sarah Gibson.



Mobilitas Makanan

Masageng Satrio Subiakto

Dalam artikelFood Mobilities: Traveling, Dwelling and Eating Cultures”, Sarah Gibson menganalisa hubungan antara ruang, kultur, dan mobilitas makanan: food mobilities. Sebagai benda kultural, makanan diproduksi dan dikonsumsi oleh dan melalui manusia, hewan dan tumbuhan yang bergerak secara geografis, melintasi infrastruktur global dalam bentuk produksi, transportasi dan persiapan makanan itu sendiri. Mobilitas makanan melekat pada kultur kuliner yang berupa resep masakan, teknik memasak, dan gaya memasak dan gaya memakan.

Makanan merupakan produk yang sangat mobile dan juga mampu menggerakkan konsumen bukan secara fisik dan imajinatif. Melalui analisa mobilitas makanan, Sarah Gibson menunjukkan pengalaman “bepergian-dalam-diam” dan “diam-dalam-bepergian” (traveling-in-dwelling dan dwelling-in-traveling).

Sarah Gibson menggunakan tulisan Cook dan Crang (1996) untuk menunjukkan metafora spatial tentang “displacement” – pemindahan, yang merupakan latar belakang interkoneksi antara tempat dan mobilitas, tinggal dan bepergian. Cook dan Crang melihat makanan sebagai “tidak hanya artefak kultur yang diam di tempat, tetapi juga mengalami pemindahan, mendiami banyak ruang dan waktu, jauh dari batas-batas yang rapi, dan saling mempengaruhi satu sama lain.” Contohnya adalah makanan-makanan tradisional seperti Gudeg yang mungkin berumur ratusan tahun. Resep Gudeg ini diajarkan secara turun temurun, disebarkan ke seluruh Indonesia, dan citarasanya disesuaikan dengan daerah penyebarnya. Itulah mengapa ada Gudeg Jogja dan Gudeg Solo yang berbeda cita rasanya.

“not only placed cultural artifacts, but also displaced, inhabiting many times and spaces which, far from being neatly bounded,
bleed into and indeed mutually constitute each other.(hal. 14)”

Untuk menggambarkan mobilitas makanan, Sarah Gibson mengambil anekdot dari Raymonds Wiliams tentang pasangan Inggris yang tinggal di Amerika. Mereka makan malam dengan menu “daging domba New Zealand, wortel California, madu Meksiko, keju Perancis dan anggur Spanyol”. Meskipun makanan yang disebutkan disini bisa diidentifikasikan jenisnya (daging domba, wortel, madu, keju dan anggur), namun juga ditempatkan pada kultur nasional dan geografis (New Zealand, California, Meksiko, Perancis dan Spanyol). Kemampuan makanan untuk keliling dunia hingga sampai ke piring dan mulut pasangan Inggris yang memasak dan makan di Amerika itu. Begitulah materalitas mobilitas makanan tersebut.

Sarah Gibson mengatakan bahwa makanan dan apa saja yang dihitung sebagai makanan, merupakan penanda kepemilikan, identitas kultural dan tanah air. Makanan sebagai sebuah kultur adalah lokasi tinggal. Bahan makanan, gaya memasak, dan cara makan merupakan cara simbolis untuk menarik batas antara “kita” dan “mereka”. Makanan dan kultur kuliner merupakan cara yang kuat untuk menegaskan batas-batas antara kita dan mereka (Lupton, 1996). Namun, fungsi makanan secara metamorfis juga merupakan suatu jembatan yang melintasi batas-batas komunitas kultur (van den Berghe, 1984). Misal, orang Jepang tidak hanya makan makanan Jepang, mereka juga makan steak dan roti (Amerika/Eropa), begitu juga orang Amerika makan masakan Jepang seperti sushi dan sashimi. Makanan-makanan khas tersebut menjembatani komunitas-komunitas negara tersebut.

International Food 1 -sumber-

Mobilitas makanan kemudian tidak lagi terkonsentrasi pada mobilitas tubuh turis atau migran, namun juga mobilitas secara imajinatif karena para turis kuliner bisa menjelajahi eksotisme tanpa meninggalkan lingkungan rumah mereka. Sekarang kuliner asing bisa dinikmati melalui restoran lokal atau memesan layanan antar, bisa juga dengan membeli bahan-bahan di supermarket dan memasaknya di rumah sendiri. Restoran etnik merupakan ruang mobile imajinatif dimana konsumer secara harafiah mencerna “the otherness” kultur asing.

Di kota Semarang ada satu restoran Jepang yang menjadi favorit saya jika saya sedang ingin makan makanan Jepang. Untuk kemudahan, saya menyebut restoran tersebut sebagai “Restoran H”. Dari sekian banyak restoran atau tempat makan makanan Jepang yang ada di Semarang, saya memilih Restoran H karena cita rasa masakannya yang menurut saya paling otentik. Ke-otentik-an cita rasa tersebut tercipta dari pengalaman sang pemilik yang pernah bekerja sebagai koki di Jepang, juga pemilihan bahan-bahannya yang beberapa masih diimpor langsung dari Jepang. Bukan hanya soal cita rasa yang membuat saya memilih Restoran H, suasana yang diciptakan di restoran tersebut juga otentik Jepang. Interior ruangan di desain seperti rumah makan di Jepang yang sering saya lihat di majalah atau televisi. Para pelayan berpakaian seperti pelayan restoran di Jepang. Diputarkan lagu-lagu berbahasa Jepang dan ditayangkan juga statiun televisi Jepang di televisi yang ada. Semuanya terasa begitu “Jepang” sehingga ketika saya makan di Restoran H, di Semarang, saya bisa merasakan bagaimana makan di restoran di Jepang. Secara imajinatif saya sudah bepergian ke Jepang, melalui makanan Jepang yang saya makan dan suasana di Restoran H. Saya tidak perlu lagi pergi ke Jepang untuk bisa mendapatkan makanan Jepang beserta dengan suasananya.

Melalui contoh seperti inilah Sarah Gibson mencoba menjelaskan pengalaman “bepergian-dalam-diam” (traveling-in-dwelling). Ketika saya makan makanan Jepang di Restoran H, saya melakukan “bepergian-dalam-diam”. Secara fisik saya diam di Restoran Jepang di Semarang, namun melalui makanan dan suasana di restoran tersebut, saya secara imajinatif sudah bepergian ke Jepang. Selain “bepergian-dalam-diam”, Sarah Gibson juga menjelaskan pengalaman yang lain yaitu “diam-dalam-bepergian”. Sarah Gibson menggunakan pengalaman makan di kereta api untuk menjelaskan tentang hal “diam-dalam-bepergian” ini.

Kereta api antar kota, daerah maupun antar negara, lazimnya memiliki kereta makan di dalam rangkaiannya. Namun, seperti yang kita ketahui bersama, harga makanan yang dijual di kereta lebih mahal dari luar kereta makan. Maka kebanyakan penumpang membeli makanan sebelum mereka naik kereta untuk kemudian di makan selama perjalanan mereka. Makanan yang mereka beli bisa jadi adalah makanan khas tempat asal mereka, yang mereka bawa bepergian untuk dimakan. Saya coba jelaskan lebih sederhana begini, misalkan saya bepergian ke Bandung dari Semarang. Untuk menghemat uang saku, maka saya membawa makanan yang saya beli di luar kereta api. Katakanlah saya membeli Lumpia yang merupakan makanan khas kota Semarang. Kemudian saya memakan lumpia tersebut ketika dalam perjalanan ke Bandung. Ketika saya makan lumpia tersebut, saya merasakan dan mendapatkan cita rasa kota Semarang. Saya bepergian ke Bandung, namun secara imajinatif saya diam di Kota Semarang. Untuk contoh lain saya akan menggunakan pengalaman seorang dosen ketika beliau menempuh pendidikan di Belanda. Suatu saat Beliau kangen dengan makanan Indonesia. Maka beliau pergi ke rumah adiknya yang kebetulan tinggal di Belanda juga. Sesampainya di sana, adiknya sudah menyiapkan berbagai hidangan khas Indonesia yang tidak bisa ditemui di Belanda. Ditambah dengan desain interior rumah adik dosen saya itu yang dirancang sepeti layaknya rumah di Indonesia. Ada ukir-ukiran Jepara dan topeng Leak Bali. Ketika makan-makanan tersebut, dosen saya membayangkan bahwa dia sedang berada di rumahnya, di Indonesia. Dosen saya sudah merasakan pengalaman “diam-dalam-bepergian”. Secara fisik beliau berada di Belanda, namun secara imajinatif melalui makanan dan suasana rumah adiknya, beliau berada diam di Indonesia.

International Food 2 -sumber-

Melalui uraian di atas Sarah Gibson membuktikan bahwa ruang merupakan sesuatu yang cair. Ruang bukan lagi dipahami sebagai bentuk fisik, namun juga sebagai sesuatu yang imajinatif. Ruang bukan lagi sesuatu yang kaku, namun merupakan sesuatu yang cair (fluid). Cara Sarah Gibson memilih kultur makanan dan menganalisanya untuk menjelaskan tentang mobilitas ruangan, menurut saya, merupakan sesuatu yang brilian. Makanan erat dengan kehidupan kita sehari-hari, sehingga sangat mudah menggunakannya sebagai contoh. Filsafat tentang mobilitas ruangan yang semula begitu sulit dipahami, melalui makanan menjadi sesuatu yang dengan cukup mudah mampu kita pahami secara nyata.


Referensi:
Gibson, Sarah, 2007), Food Mobilities: Traveling, Dwelling, and Eating Cultures”, Space and Culture, vol. 10 no. 1, February, hal. 4-21. *bisa didapat di sini

Acknowledgement:
Gloria Putri & Rouli Manalu, atas masukan dan koreksiannya terhadap artikel ini.

Thursday, July 7, 2011

Pembaharuan Alat Musik Gereja vs Suasana Ibadah

Beberapa minggu yang lalu, untuk pertama kalinya aku berkunjung ke GPIB Immanuel Semarang atau yang lebih kita kenal dengan "Gereja Blenduk". 
sumber
Gereja Blenduk merupakan salah satu landmark andalan Kota Semarang. Didirikan pada tahun 1753 oleh masyarakat Belanda yang dulu menduduki Kota Semarang. Berbentuk heksagonal, memiliki kubah (yang membuat jadi dijuluki "blenduk", memiliki ornamen-ornamen berbahan perunggu dan yang paling penting adalah ORGEL PIPA jaman Barok. 

Orgel Pipa GPIB Immanuel Semarang
Ada dua gereja di Semarang yang memiliki Orgel pipa, yaitu GPIB Immanuel dan Gereja Katolik St. Yusuf di daerah Gedangan, semuanya berada di kawasan kota lama Semarang. Orgel-orgel tersebut merupakan peninggalan Belanda sebagai hadiah bagi pribumi masa itu.


Namun, orgel pipa yang berada di GPIB Immanuel sekarang sudah tidak berfungsi lagi. Sudah sangat lama sejak orgel itu dapat dimainkan untuk yang terakhir kali. Penyebabnya adalah (menurut pengurus gereja) adalah karena karat oleh karena angin laut yang masuk melalui ventilasi gereja. Memang GPIB Immanuel berada di jawasan yang bisa dibilang kawasan pantai, sekitar 10 km dari pantai. Pada waktu itu belum ada yang bisa merawat dan memperbaikinya.Namun sekarang sudah ada seseorang di Semarang yang bukan hanya mampu memperbaiki, namun juga mampu membuatnya. Namanya adalah Martino Hidajat. Beliau sudah membuat beberapa orgel pipa di Gereja Katolik Makasar, GKI Purworejo, GKI Taman Cibunut Bandung. Beliau mendapatkan beasiswa untuk belajar membuat orgel di Jerman.

Sayang sekali orgel di GPIB Immanuel sudah tidak bisa diperbaiki. Sekarang GPIB Immanuel menggantikan peran orgel tersebut dengan sebuah electric organ dan keyboardYamaha. Dan memasang peralatan sound system untuk mendukung peralatan-peralatan tersebut yang sebenarnya mungkin tidak dibutuhkan jika orgel pipa tersebut masih bertahan.
Organ Yamaha
Keyboard Yamaha
Sound System



Ada orang yang menyebutkan bahwa orgel pipa adalah Rajanya alat musik karena satu alat musik tersebut sudah bisa mengeluarkan berbagai macam suara dari berbagai macam kombinasi. Membunyikan satu tuts orgel pipa bisa disamakan dengan tiga tuts piano. Bisa dibayangkan jika kita memainkan beberapa tuts orgel yang dikombinasikan denga register-register yang ada, maka satu orang pemain orgel bisa disamakan dengan sebuah orkestra. Keren sekali! Ibadah di gereja akan menjadi lebih syahdu, khusuk, menyentuh dan tentu saja agung. Dan karena orgel adalah alat akustik (dibunyikan dengan tenaga angin dari blower) maka suaranya sekeras apapun tidak akan memekakkan telinga. 
Menurut saya adalah suatu kehilangan besar ketika orgel pipa tersebut rusak, Ibadah yang seharusnya bisa sangat indah dan menarik banyak umat untuk datang, sekarang menjadi kering dan tidak menyentuh, umat pun hanya maksimal 100 orang yang hadir.
Yang perlu kita renungkan sekarang, apakah ini sebuah kemajuan dan pembaharuan teknologi alat musik, atau sebenarnya sebuah kemuduran ibadah Kristiani? Banyak hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki ibadah. Dan pembaharuan alat musik bisa menjadi pedang bermata dua jika tidak dikelola dengan benar.
Berharap seandainya GKI Peterongan punya kesempatan memiliki orgel pipa. Peace ^^v

Sunday, May 8, 2011

Conjunctivitis a.k.a Belekan

s2 minggu ini aku menderita penyakit yang sebenarnya bukan penyakit gawat namun ternyata cukup merepotkan. Yaitu penyakit yang namanya Conjunctivitis Viral nama keren dari Belekan... Hedeh...
Benar2 merepotkan karena penyakit ini membuat mata lengket, bengkak, merah dan jika berlarut akan membuat pandangan menjadi kabur seperti berkabut (aku juga mengalami itu). Yang lebih merepotkan lagi adalah penyakit ini menular dan bisa disembuhkan hanya dengan istirahat total. Yang artinya aku harus istirahat di rumah, tidak boleh banyak membaca dan menonton tivi, dan sama sekali tidak boleh bekerja di depan komputer.

sumber


Ini cukup merepotkan karena memang pekerjaanku tiap hari mengharuskanku menghabiskan minimal 4 jam di depan komputer (itu di luar internetan dan game). Kalau aku nekat menyalakan komputer dan internetan atau nge-game, kurang dari 1 jam mataku langsung membengkak dan memerah lagi....
Dan juga aku harus di "karantina" dulu sampai mataku sembuh. Tidak benar2 dikarantina, namun memang banyak orang jadi enggan bertemu dengan ku, terutama teman2 di tempat kerja. Waktu aku masih bekerja seperti biasa karena belum terlalu mengganggu, mereka sudah berulang kali menyuruhku untuk libur kerja, karena mereka takut tertular olehku...

sumber


Jadi teringat tentang kisah-kisah orang kusta di Alkitab. Dimana mereka dikucilkan orang bahkan sampai diusir keluar kota mereka dan dianggap najis.
Yah, memang aku tidak sampai diusir begitu. Namun, penolakan orang-orang secara halus membuatku menyadari betapa orang-orang sangat menginginkan kesehatan. Bukan hanya supaya bisa terus bekerja dan melakukan berbagai aktivitas, namun juga karena sakit itu gak enak... Apalagi sakit Belekan... hedehhh.....
Ampun deh Tuhan.... Jangan lagi ya.... ^^v